Jumat, 10 April 2020

Agustina Lesmauli Nazara
11/04/2020

TUGAS MATA KULIAH
ILMU BEDAH UMUM VETERINER



JUDUL :
SUBLUKSASI

Disusun oleh:
Kelompok I

I Putu Adjna Bhumi Dharmaswami     1209005101
I Gede Arya Mas Sosiawan                  1709511002
Putu Yunika Cahyanti                           1709511003
Regina B Br Ginting                             1709511005
Doni Damara                                         1709511006
Agustina Lesmauli Nazara                    1709511007
Jeremy Christian Luwis                        1709511008



FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020


















SUBLUKSASI

1. Terminologi Subluksasi
Subluksasi adalah gangguan tulang belakang bagian atas tepatnya segmen/ruas leher tertarik ke kanan atau ke kiri. Akibatnya, posisi kepala tidak lurus melainkan tertarik ke kiri atau ke kanan. Kelainan ini dapat terjadi karena kecelakaan atau gerakan terlalu kencang mendadak. Pada kucing sendi yang sering mengalami sublukasi adalah pinggul, sedangkan pada anjing sering terjadi pada pinggul dan siku. Meskipun dibagian lain juga sering terjadi. Trauma seperti kecelakaan adalah salah satu penyebab utama terjadi subluksasi. Ras anjing seperti german sheprerd dan Labrador retriever memiliki resiko lebih tinggi dalam kemungkinan mengalami subluksasi pada nagian pinggul. Sedangkan ras kucing yang sering mengalami subluksasi adalah main coon yang juga umumnya dialami di bagian pinggul. Hal ini dipengaruhi konformasi anatomi dari ras tersebut. Subluksasi atau yang disebut dengan kesleo yang merupakan tertariknya ligament sendi karena Gerakan tiba-tiba atau Gerakan yang tidak bisa dilakukan. Terkilir menyebabkan timbulnya rasa sakit disertai peradangan pada daerah sendi.

2. Etiologi Subluksasi
Subluksasi dapat terjadi akibat trauma saat kecelakaan atau cedera yang menyebabkan kerusakan pada struktur lain yang memberikan stabilitas sendi. Ras anjing seperti German Sheperd dan Labrador Retriever memiliki resiko lebih tinggi dalam kemungkinan mengalami subluksasi pada bagian pelvis. Sedangkan ras kucing yang sering mengalami subluksasi adalah Main Coon yang juga umumnya dialami di bagian pelvis. Besarnya gaya ketika terjatuh  menentukan  tingkat  keparahan cedera dan struktur yang terlibat.

3. Gejala Klinis Subluksasi
           Tanda-tanda klinis yang paling umum yang terkait dengan subluksasi antara lain :
· Mengalami pincang atau ketimpangan yang tiba-tiba
· Nyeri ketika menyentuh atau menggerakan sendi
· Kesulitan untuk berjalan atau melompat
· Terjadi pembengkakan pada sendi
· Sendi dijilati secara persisten
· Penurunan aktivitas
· Nafsu makan menurun 

4. Diagnosa
Diagnosis dapat dilakukan melihat Riwayat kecelakaan, trauma, ada tidaknya cidera, serta aktifitas dari hewan. Setelah itu, akan melakukan pemeriksaan fisik yang dilakukan pemeriksaan area sendi yang dicurigai mengalami subluksasi, serta sirkulasi darah di sekitar area cidera. Selanjutnya berdasarkan gejala klinis, gejala yang terjadi dapat berupa nyeri, muncul tanda peradangan, dan deformitas. Hal ini tidak hanya ditemukan pada subliksai. Robekan ligamen, tendinitis, dan patah tulang juga dapat menyebabkan gejala serupa. Akan tetapi, pada tendinitis dan ligamen robek umumnya tidak terdapat deformitas tulang.
Gejala yang di alami akibat subluksasi sendi dapat menyerupai patah tulang, robekan ligamen, atau cedera otot. Untuk memastikan adanya dislokasi sendi atau patah tulang, dapat dilakukan pemeriksaan rontgen pada daerah yang cedera. Melalui rontgen, bisa terlihat jelas tulang yang mengalami dislokasi atau ada tidaknya patah tulang. Foto rontgen, untuk menunjukkan adanya dislokasi atau kerusakan lain di area sendi, misalnya patah tulang. Tes diagnostic lain seperti computed tomography (CT).
Kelemahan pemeriksaan rontgen adalah tidak dapat mendeteksi apabila cedera melibatkan kerusakan jaringan lunak di sekitar sendi yang mengalami subluksasi, contohnya pada kondisi robekan ligamen. Jika dokter mencurigai hal tersebut, pemeriksaan mri akan dilakukan. MRI, untuk membantu dokter menilai kerusakan pada struktur jaringan lunak di sekitar sendi yang mengalami dislokasi. Pada tulang dan sendi, MRI bisa membantu mengevaluasi beberapa jenis gangguan. Pemeriksaan ini bisa melihat infeksi tulang, kelainan pada tulang belakang dan bantalan saraf tulang belakang, peradangan sendi, hingga tumor pada tulang dan jaringan lunak. MRI juga bisa digunakan untuk mengetahui kondisi abnormal pada sendi. Hal itu bisa disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya cedera tulang yang terjadi berulang atau karena cedera fisik akibat kecelakaan. 

5. Terapi Subluksasi
Penanganan subluksasi pada hewan dilakukan dengan perawatan yang paling tepat. Banyak kasusu yang memerlukan pembedahan dalam penanganannya, tergantung pada tingkat keparahannya. Ada beberapa terapi / fisioterapi yang kerap disarankan saat penanganan kasus subluksasi seperti Infra Red (IR), Short Wave Diathermy (SWD),dan  Terapi Latihan. Adapun metode pengobatan tradisional yang dapat dilakukan dalam penanganan subluksasi seperti pengobatan chiropractic. Hal tersebut dibahas dalam makalah mengenai ilmu kedokteran hewan tradisional.

a. Infra Red (IR)
Sinar Infra Red bila dilihat dari susunan spectrum sinar (Hertzian, infra merah, merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu, ultraviolet) terletak diantara sinar merah dan Hertzian. Dengan demikian definisi sinnar infra red adalah pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 7.700-4 juta . Adapun efek yang diberikan dari infra red adalah efek fisiologis dan terapeutik. Efek fisiologis diantaranya adalah: 1) Meningkatkan proses metabolism, 2) Vasodilatasi pembuluh darah, 3) Pigmentasi, 4) Pengaruh terhadap urat saraf sensoris, 5) Pengaruh terhadap jaringan otot, 6) Mengaiktifkan kelenjar keringat. Efek terapeutik yang dihasilkan adalah 1) Mengurangi nyeri, 2) Relaksasi otot, 3) Meningkatkan suplai darah.

b. Short Wave Diathermy (SWD)
Short wave diathermy merupakan suatu pengobatan dengan menggunakan stressor berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus listrik bolak- balik frekuensi 27, 12 MHz, dengan panjang gelombang 11 m. Short Wave Diathermy (SWD) dapat membantu dalam mengelola rasa sakit dan meredakan spasme otot dengan mengatasi radang dan juga mengurangi pembengkakan. Hal ini juga mempromosikan vasodilatasi dengan meningkatkan aliran darah dan pemenuhan jaringan ikat, meningkatkan elastisitas otot dan menurunkan kekakuan sendi.

c. Terapi Latihan
Adapun metode terapi yang digunakan yaitu:
a) Active Exercise
Latihan aktif disini bertujuan untuk menjaga serta menambah lingkup gerak sendi (LGS). Disini penulis memberikan latihandengan menggunakan metode resisted active movement dan free active movement. Gerakan dilakukan oleh kekuatan otot penderita itu sendiri dengan tidak menggunakan suatu bantuan dan hanya menggunakan tahanan yang berasal dari luar dan pasien dinstruksikan untuk menggerakkan regio bahu secara  mandiri atau sesuai kemampuan. Latihan ini bisa dilakukan kapan pun dan dimana pun penderita berada.

b) Passive Excercise
Latihan aktif disini bertujuan untuk menjaga serta menambah lingkup gerak sendi (LGS). Disini penulis memberikan latihan dengan menggunakan metode gentle passive movement dan force passive movement. Gerakan dilakukan dengan bantuan eksternal atau terapis yang menggerakan regio yang bersangkutan dengan semua gerakan, dilakukan perlahan-lahan kemudian diberikan sedikit tekanan di akhir gerakan.

d. Pengobatan Chiropractic
Gangguan utama yang menjadi indikasi untuk pengobatan chiropractic adalah gangguan pada neuro-muskuloskeletal, ketimpangan idiopatik, penyakit intervertebralis, nyeri leher/punggung, sindrom wobbler, spondylosis, sindroma cauda equina, displasia pinggul, inkontinensia urin, neuropati glandular/sensori lokal, rehabilitasi postsurgical, masalah performan dan perilaku pada kuda. Evaluasi klinis untuk tindakan chiropractic, meliputi: riwayat pasien (riwayat trauma, perubahan perilaku, dan perubahan kinerja); evaluasi klinis (pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis, dan radiografi); analisis postur tubuh (kyphosis, lordosis, skoliosis, dan posisi duduk); analisis gaya berjalan (langkah pendek, asimetri, dan mondar mandir), palpasi otot dan jaringan lunak; tempratur tulang belakang; analisis pada kaki belakang. Selain itu, perlu juga dilakukan evaluasi dengan palpasi gerakan. Palpasi gerak menentukan daerah hipo atau hipermobilitas. Ini memerlukan pengetahuan tentang tulang rawan dan intervetebral dan bidang gerak vertebral yang berbeda (lateral, rotasi, dan dorso-ventral).
Ada lebih dari seratus teknik terapi chiropractic. Teknik yang paling sering dilaporkan merupakan penyetelan tulang (osseous adjusments). Penyetelan biasanya dilakukan pada tuas pendek, lalu didorong kecepatan tinggi yang dikendalikan menggunakan tangan. Penggunaan aktivator, instrumen genggam kecil, kadang-kadang juga digunakan untuk membuat hasil yang baik. Penyetelan ini ditujukan pada unit motor hypomobile untuk mengembalikan gerakan sendi. Cara ini bisa diikuti dengan teknik mendorong pada akhir joint play (akhir rentang gerak pasif) dengan gaya amplitudo yang rendah untuk melepaskan fiksasi. Terkadang, selama penyetelan, akan terdengar bunyi atau suara yang cukup bisa didengar. Ini biasanya lebih tampak pada manusia dibandingkan pada hewan. Bunyi tersebut menunjukkan adanya penurunan tekanan intraartikular dan tidak selalu diperlukan untuk keberhasilan penyetelan. Penyetelan sangat spesifik dalam hal arah, gaya, kedalaman, dan waktu terhadap contact point (spinous, mammillary, atau proses transversus). Penyetelan bila dilakukan dengan benar akan dirasakan enak dan meyenangkan bagi hewan.
Terapi chiropractic veteriner modern banyak menerapkan teknik yang sama pada manusia dengan memodifikasinya untuk hewan yang khas berdiri dengan empat kaki. Untuk hewan berkaki empat yang lebih besar, seperti kuda, cara ini bisa diterapkan dengan sukses. Perlu penyesuaian untuk meningkatkan kekuatan yang dapat dilakukan dengan tangan. Dorongan yang dilakukan dengan lebih cepat akan mengurangi massa yang diperlukan untuk mencapai jumlah gaya yang sama. Jika penyetelan dilakukan dengan benar, hanya dibutuhkan gaya yang relatif rendah. Meski kuda memiliki tubuh besar, sistem sarafnya sensitif dan sangat responsif terhadap terapi seperti halnya juga pada spesies yang lebih kecil.
Sebagai catatan tentang kontraindikasi chiropractic pada dunia kedokteran hewan, yaitu teknik terapi ini tidak dianjurkan dilakukan pada kelainan yang mencakup fraktur vertebral atau pelvis dan neoplasia pada tulang belakang. Meskipun bukan kontraindikasi, tetapi keterampilan dan ketekunan seorang chiropractor amat diperlukan pada penanganan 58 hewan yang mengalami prolapsus cartilago vertebra atau pada hewan yang menjalani operasi ulang. Chiropractic veteriner tidak menggantikan pendekatan konvensional terhadap kondisi neuro-muskuloskeletal. Sebaliknya, cara ini diharapkan saling melengkapi, mengisi relung yang sangat unik. Dengan mengintegrasikan chiropractic veteriner ke dalam praktik konvensional akan membutuhkan sedikit perubahan paradigma. Hal ini menyangkut pemahaman tentang hierarki sistem saraf, gagasan baru tentang penyembuhan dan homeostasis, dan metode baru untuk mengevaluasi biomekanik tubuh. Chiropractic adalah terapi dan sekaligus pencegahan.


Sumber
Nyoman Sadra Dharmawan. 2017. PENGANTAR ILMU KEDOKTERAN HEWAN TRADISIONAL. FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN, UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

Ista Suhada Marasinta. 2015. PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA SUBLUKSASI ACROMIOCLAVICULAR JOINT DEXTRA DI RSUD SRAGEN. FAKULTAS ILMU KESEHATAN, UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 

Terimakasih.

Rabu, 14 November 2018

Uji Kepekaan Bakteri Terhadap Antibiotika (Sensitivity Test)

14/11/2018


Nama : Agustina Lesmauli Nazara
NIM    : 1709511007
Kelas  : A



LAPORAN PRAKTIKUM: UJI KEPEKAAN BAKTERI TERHADAP ANTIBIOTIKA (SENSITIVITY TEST) 

A. Teori

       Sensitivity test merupakan uji secara in vitro bakteri sebagai agen penyebab penyakit terhadap antibiotika. Uji ini bertujuan untuk mengetahui pola kepekaan agen bakteri tersebut terhadap antibiotika yang digolongkan sensitif (peka), intermediet, atau resisten. Antibiotika yang efektif digunanakan untuk tindakan terapi adalah antibiotika yang tergolong kategori sensitif sedangkan yang dikategorikan resisten dihindari atau tidak digunakan. Adapun beberapa cara uji bakteri terhadap antibiotika yaitu cara difusi cakram menurut metode Kirby-Bauer, cara penipisan lempeng, dan cara pengenceran tabung. Pada praktikum kali ini cara yang digunakan yaitu cara difusi cakram menurut metode Kirby-Bauer. 

Cara difusi cakram menurut Kirby-Bauer 

      Cara ini paling banyak dipakai untuk menentukan kepekaan terhadap berbagai antibiotika. Metode ini menggunakan antibotika yang dikemas dalam bentuk paper dish. Paper dish tersebut ditempelkan pada permukaan media Mueller Hinton Agar yabg telah dipupuk biakan bakteri yang konsentrasinya menggunakan standar kekeruhan Mac Farland 0,5 dengan estimasi 108 colony forming units per mil. Parameter yang diamati pada uji ini adalah lebar diameter killing zone (zona hambat pertumbuhan bakteri) yang terbentuk pada masing-masing paper dish. Lebar diameter killing zone tersebut kemudian dicocokkan dengan killing zone srandar yang telah ada dalam referensi. 

B. Bahan dan alat 

 Mueller hinton agar 
 Cotton swab steril, 
 Biakan bakteri murni, 
 Reagen Mac Farlamd 0,5; 
 Bouillion, 
 Paper dish, 
 Alkohol 70%, api bunsen, ose, dan tisu.

C. Prosedur Kerja


  • Panaskan ose, tunggu sampai dingin
  •  Inokulasikan 3-10 koloni bakteri yang telah murni ke dalam 4 ml perbrnihan cair (bouollion).
  • Inkubasikan perbenihan tersebut pada suhu 37°C selama 2-5 jam.
  • Amati pertumbuhan bakteri ditandai terjadinya kekeruhan medium lalu dicocokkan dengan standar kekeruhan Mac Farland 0,5. Apabila terlalu keruh maka biakan bakteri ditambahkan larutan bouillion steril sampai kekeruhannya sama, tetapi apabila kurang keruh maka biakan diinkubasikan kembali dan diamati sampai kekeruhannya sama.
  • Setelah kekeruhannya sama, ambil biakan bakteri dengan spuit sebanyak 0,5 ml dan ditanam dalam media. Kemudian biakan bakteri diusapkan secara merata keseluruh permukaan medium Mueller hinton agar plate menggunakan cotton bud. Pemupukan dapat dilakukan 2-3 kali sanpai inokolum (biakan) merata.
  • Tunggu sekitar 5-10 menit, lalu tempelkan antibiotika dalam bentuk paper dish pada permukaan medium biakan dengan jarak >2 cm dari tepi cawan petri, demikian juga dari paper dish yang lain. Pada umumnya satu cawan petri dapat berisi 5 paper dish.
  • Inkubasikan pada suhu 37°C selama semalam.
  • Amati dan catat hasil killing zone yang terbentuk pada masing-masing paper dish.

D. Hasil dan Pembahasan



  Pada praktikum yang dilakukan digunakan biakan bakteri E. coli dan streptococcus untuk diuji kepekaannya terhadap antibiotika. Adapun antibiotika yang digunakan yaitu Clindamycin 10, Bacimycin 10, Streptomycin 10, Doxycyline 30, dan Kanamycin 30.
Adapun hasil yang diperoleh setelah diuji yaitu

Pada biakan bakteri E. coli
  • Clindamycin 10 bakteri memiliki tingkat kepekaan yang tinggi. Dimana minimal diameter zona hambat minimal untuk bakteri sensitif yaitu ≥16 mm. Sedangkan zona yang terbentuk jernih tanpa ada bakteri tumbuh yaitu 28 mm.
  • Bacimycin 10. Pada antibiotika ini juga bakteri memiliki sensitif dapat dilihat dari zona jernih yang terbentuk dengan diameter 25 mm.
  • Streptomycin 10, biakan bakteri intermediet terhadap antibiotika ini dimana zona yang terbentuk itu yaitu 12 mm sesuai dengan standar killing zone pada Streptomycin 10untuk tingkat intermediet yaitu 12-14 mm.
  • Doxycycline 30, bakteri peka terhadap antibiotika ini. Dimana terbentuk zona jernih berdiameter 20 mm, sesuai dengan standar killing zone dari Doxycycline 30 untuk tingkat sensitif yaitu ≥ 16 mm.
  • Kanamycin 30, bakteri resisten terhadap antibiotika ini. Dimana zona yang terbnetuk hanya 10 mm. Sedangkan standar killing zone untuk Kanamycin 30 yang peka yaitu ≥ 17 mm. Bakteri resisten terhadap antibiotika ini bisa terjadi akibat kesalahan saat penanaman paper dish.
Pada biakan bakteri Streptococcus
  • Doxycyline 30, biakan bakteri streptococcus sensitif terhadap antibiotika ini. Dimana zona yang terbentuk yaitu 25 mm sesuai dengan standar killing zone dari Doxycyline 30tingkat pekanya yaitu ≥ 16 mm.
  • Pada biakan bakteri streptococcus ini pemamaman antibiotika Streptomycin 10 dan Clindamycin 10 terjadi kesalahhan dan terkontaminasi sehingga tidak dapat diperoleh hasil yang akurat.

E. Kesimpulan

      Pola kepekaan bakteri ada tiga yaitu peja/sensitif, intermediet, dan resisten. Melalui uji kepekaan dengan metode difusi cakram menunjukkan semakin besar zona 
yang terbentuk maka semakin tinggi tingkat sensitive bakteri terhadap antibiotika tersebut dan jika zona yang terebentuk semakin sempit maka tingkat resisten bakteri terhadap antibiotika yang digunakan juga semakin tinggi.

Thx ♡

RSH Sesetan, Denpasar.

Sabtu, 26 Mei 2018

Uji alkohol pada susu, demo esbach dan heller positif

Laporan Praktikum Biokimia 2

Agustina Lesmauli Nazara
1709511007
17A


Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana
2018















"Uji Alkohol pada Urin, Demo Esbach dan Heller Positif"

Alat dan Bahan Pereaksi 

  1. Susu segar
  2. Susu dus
  3. Alkohol
  4. Urin Sapi, urin babi, dan urin manusia 
  5. Asam pikrat 
  6. Tabung dan rak tabung Pereaksi 
  7. Pipet tetes 


Prosedur Percobaan 

1. Uji Alkohol 


  • 2 cc susu segar + 2 cc alkohol 70% →Bolak-balik
  • 2 cc susu dus + 2 cc alkohol 70% →Bolak-balik 


2. Uji Esbach

  • Urin + asam pikrat 

3. Uji Heller (+) 

  • Urin + asam nitrat

Hasil Percobaan 

1. Uji Alkohol 

  • Susu segar: Ada bintik-bintik putih (susu pecah) 
  • Susu dus: Tidak ada bintik-bintik putih

2. Uji Esbach

  •  Urin Manusia: Ada endapan putih kelabu dan kuning
  • Urin sapi: Ada endapan kuning
  • Urin babi: Ada endapan putih kelabu

3. Uji Heller (+) 

  • Urin Manusia: Terdapat lapisan keruh diatas permukaan 

Pembahasan 

1. Uji Alkohol 

Uji ini digunakan untuk menentukan kesegaran susu sebelum dibawa ke industri pengolahan susu, menurut SNI (1998), susu segar harus negatif (tidak pecah) dengan uji alkohol. Hasil yang negatif ditandai dengan tidak adanya gumpalan atau bintik-bintik putih susu yang melekat pada dinding tabung reaksi. Uji alkohol prinsipnya memeriksa dengan tepat tingkat keasaman susu.  Susu yang mengandung keasaman 0,21% akan terkoagulan  dengan penambahan alkohol 70% dengan demikian,  apabila uji alkohol menunjukkan hasil positif maka susu dalam keadaan tidak baik.

2. Uji Esbach 

Uji Esbach bertujuan untuk menentukan kadar protein / kepadatan yang terkandung dalam urine (proteinuria). Prinsip kerjanya yaitu reagen Esbach membentuk endapan protein yang terkandung dalam urin dan endapan tersebut dapat dibaca pada skala yang terdapat pada tabung Esbach. Uji Esbach dilakukan pada urin yang telah ditambahkan reagen asam pikrat kemudian di bolak-balik dan didiamkan selama 24 jam. 
  • Urin manusia menunjukkan hasil positif dimana terdapat endapan bewarna kuning yang dihasilkan oleh bahan-bahan organik seperti sel dan endapan berwarna putih kelabu yang dihasilkan oleh bahan-bahan anorganik seperti mineral. 
  • Urin sapi menunjukkan hasil positif dengan adanya endapan berwarna kuning. 
  • Urin babi menunjukkan hasil positif dengan adanya endapan berwarna putih kelabu. 
Kadar protein dalam urin bisa disebabkan oleh protein yang tidak berhasil di filtrasi oleh glomerulus ginjal. 


3. Uji Heller (+) 

Uji ini dilakukan dengan cara menambahkan putih telur pada larutan urin + asam nitrat. Tujuan penambahan putih telur ini yaitu sebagai bahan protein. Sehingga pada hasil yang diperoleh terdapat lapisan-lapisan keruh yang merupakan protein dari putih telur.

Kesimpulan 

  • Pada uji alkohol susu segar menunjukkan hasil negatif yang berarti kurang baik. Sedangkan susu dus tidak negatif karena tidak ada pecah / bintik-bintik pada dinding tabung sehingga produk susu dus baik.
  • Pada uji esbach masing-masing urin menunjukkan hasil positif memiliki kepadatan. Urin manusia mengandung bahan organik dan anorganik. Urin sapi mengandung bahan-bahan organik. Sementara urin babi mengandung bahan-bahan anorganik. Hal terlihat dari warna padatan yang mengendap pada bawah tabung esbach.
  • Pada uji heller (+) terbukti mengandung protein. Dilihat dari kekeruhan yang ada. Protein ini berasal dari bahan putih telur yang ditambahkan.


Sumber 

tonarinoligerrbaroo.blogspot.co.id/2016/04/laporan-praktikum-biokimia-veteriner-ii.html?m=1
ternakapaaja.blogspot.co.id/2014/12/uji-reduktase-berat-jenis-susu-uji.html?m=1

Selasa, 17 April 2018

Uji konvensional pada urin

Agustina Nazara 

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA 
"UJI KONVENSIONAL PADA URIN"



Oleh:
  1. Komang Trisno (1509005023)
  2. Richard Christian Daud (1709511001)
  3. I Gede Arya Mas Sosiawan (1709511002)
  4. Putu Yunika Cahyanti (1709511003)
  5. Aisyah Setyaningrum (1709511004)
  6. Regina B Br Ginting (1709511005)
  7. Doni Damara (1709511006)
  8. Agustina Lesmauli Nazara (1709511007)



LABORATORIUM BIOKIMIA VET II
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA 
2018




1. PENDAHULUAN 

Bahan dan Alat Pereaksi:

  • Urin Sapi Bali, urin Babi Bali, dan urin manusia
  • Asam nitrat pekat
  • Cuka encer 
  • Benedict 
  • Tabung reaksi dan rak tabung reaksi 
  • Gelas ukur
  • Pipet tetes 
  • Bensun

Tata kerja
1. Uji Protein

  • Uji Heller: 1 cc urin + asam nitrat pekat
  • Uji Didih: 2 cc urin dipanaskan (cek kekeruhan), jika keruh + cuka encer → cek kekeruhan 
2. Uji Reduksi 
  • Benedict: 1 cc urin + 2 cc benedict →↑cek warna
Hasil Percobaan 

1. Uji Heller 

2. Uji Didih 

3. Uji Reduksi (Benedict) 

2. PEMBAHASAN 
   Urin adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh oleh ginjal lalu dikeluarkan dari tubuh melalui proses urinasi. Urin normal berwarna jernih transparan atau kuning muda. Proses urinasi berfungsi membuang zat sisa hasil metabolisme  yang merupakan sisa pembongkaran zat makanan, misalnya: karbondioksida (CO2), air (H20), amonia (NH3), urea dan zat warna empedu. Zat sisa metabolisme tersebut sudah tidak berguna lagi bagi tubuh dan harus dikeluarkan karena bersifat racun dan dapat menimbulkan penyakit. kandungan urin berupa air, urea, asam urat, ammonia, keratin, asam oksalat, asam fosfat, asam sulfat, klorida.

1. Uji Heller

  Uji ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya protein dalam urin. Uji ini dilakukan dengan cara menambahkan HNO3 pekat dan akan membentuk cincin berwarna putih dalam larutan. Hal ini disebabkan oleh denaturasi protein yang terjadi di permukaan saat ditetesi HNO3 yang tidak berlangsung lama dan menyebabkan cincin putih menghilang perlahan-lahan.
     Berdasarkan data yang diperoleh pada uji heller diperoleh hasil negatif. Pada urin sapi, urin babi, dan urin manusia tidak ditemukan adanya cincin berwarna putih.
Gambar. Uji heller: a) urin babi, b) urin sapi, c) urin manusia 

2. Uji Didih

   Uji didih bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya protein dalam urin. Ada atau tidak nya protein dilihat dari kekeruhan yang dihasilkan. Urin yang normal dan sehat biasanya jernih dan tidak keruh setelah dipanaskan, tetapi apabila tidak jernih dan keruh menunjukkan bahwa ada kelainan maupun dehidrasi. Uji ini pada prinsipnya berdasarkan koagulasi protein yang terdapat pada urin jika urin tersebut dipanaskan.
      Pada uji yang dilakukan di dapat hasil normal karena tidak adanya kekeruhan dan urin tetap jernih setalah dipanaskan.
Gambar. Uji didih: a) urin babi, b) urin sapi

3. Uji Benedict

    Uji Benedict dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya glukosa dalam urin. Prinsip kerjanya yaitu menguji keberadaan gugus aldehida dan keton pada gula glukosa dan ketosa. Hasil positif diperoleh bila ditemukan dan terbentuknya endapan berwarna merah bata. Endapan ini terjadi karena reaksi dari ion logam tembaga (II) direduksi menjadi tembaga (I).
      Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan hasil negatif atau tidak ditemukan glukosa dalam urin karena tidak terbentuk endapan merah bata.
Gambar. Uji benedict: a) urin babi, b) urin sapi, c) urin manusia 


3. KESIMPULAN 

  1. Uji heller dilakukan untuk mengetahui adanya protein dalam urin. Pada percobaan yang dilakukan ditemukan hasil negatif karena tidak ditemukannya cincin putih. 
  2. Uji didih dilakukan untuk mengetahui adanya protein dalam urin. Dari percobaan yang dilakukan hasil yang didapat negatif (normal) karena urin tidak keruh saat dipanaskan. 
  3. Uji benedict dilakukan untuk mengetahui adanya glukosa dalam urin. Dari percobaan yang dilakukan, hasil yang didapat negatif karena tidak ditemukannya endapan merah bata. 

Sumber

Noliger, tonari. 2016."Laporan Praktikum Biokimia Veteriner II Pengantar Biokimia Klinik Veteriner: Urinalis Konvensional dan Modern" 21 April 2016 ( tonarinoligerrbaroo.blogspot.co.id/2016/04/laporan-praktikum-biokimia-veteriner-ii.html?m=1 diakses 13 April 2018)

Terimakasih ☺☺


Jumat, 13 April 2018

Uji empedu biokimia 2

Agustina Nazara


UJI PADA EMPEDU

Bahan Pereaksi dan Alat:
  • Empedu
  • Adams asetat encer
  • HNO3 pekat
  • Sukrosa encer
  • H2SO4 pekat
  • Tabung reaksi
  • Rak tabung reaksi
  • Gelas ukur
  • Pipet tetes 
Cara Kerja:
  1. Cek sifat fisik empedu (warna, viskositas, dan transparansi) .
  2. Uji Musin (empedu pekat) : Empedu 1-2 cc + 2-3 cc asam asetat encer → cek endapan? 
  3. Uji warna:
  • Gmelin: 2-3 cc HNO3 pekat diisi ke tabung reaksi, lalu 2 cc empedu ditambahkan melalui dinding tabung →cek
  • Pettenkofer: 2 cc empedu campur dengan larutan sukrosa encer ( homogenkan) lalu tambah 1-2 cc H2SO4 pekat melalui dinding.
Hasil percobaan
1. Uji Musin
 Sifat fisik awal:  Warna hijau, bening, encer
 Sifat fisik akhir:

  • warna: kuning (atas), bening (bawa)
  • Viscositas: Pekat (lapisan tengah), encer (bagian atas dan bawah)
  • Transparansi: Ada endapan
2. Uji Gmelin
  Sifat fisik awal: Warna hijau, bening, encer
  Sifat fisik akhir:
  • Warna: Hijau, kuning, biru, putih, ungu
  • Viscositas: Pekat
  • Tranparansi: Ada gumpalan, lapisan atas dan bawah bening
3. Uji Pettenkofer
  Sifat awal: Warna hijau, bening, encer
  Sifat akhir:
  • Warna: Hijau (atas), Merah (tengah), coklat pekat (bawah)
  • Viscositas: Pekat, bening (bagian atas)
  • Transparansi: Ada gumapalan (bagian tengah), bening (atas), pekat (bawah)

PEMBAHASAN
Empedu adalah cairan bersifat basa yang pahit dan berwarna hijau kekuningan, yang disekresikan oleh hepatosit hati. Empedu sangat penting dalam sistem pencernaan. Dalam empedu banyak terdapat senyawa penting, seperti garam empedu, zat warna empedu, lesitin, kolestrol dan garam-garam anorganik.

1. Uji Musin
      Uji musin dilakukan untuk mengetahui adanya senyawa organik dalam empedu. Hal ini dapat diketahui melalui endapan musin dalam empedu setelah menambahkan asam asetat. Senyawa-senyawa yang dapat diidentifikasi yaitu zat organik seperti klorida, sulfat dan fosfat. Berdasarkan data percobaan menunjukkan bahwa teridentifikasi zat-zat organik karena adanya endapan musin.

2. Uji Gmelin
      Uji gmelin adalah uji warna dengan menambahkan empedu pada HNO3. Dari uji yang dilakukan, maka terbentuk warna:
  • Hijau: Merupakan warna dari pigmen empedu
  • Kuning: Menunjukkan adanya reaksi antara bilirubin (pigmen kuning) dengan larutan HNO3 pekat.
  • Ungu: Mesobilisianin yang merupakan hasil oksidasi dari empedu oleh HNO3.
  • Tidak berwarna: Warna dari HNO3

3. Uji Pettenkofer
      Uji pettenkofer dilakukan untuk membuktikan adanya garam empedu dan asam empedu yang terkandung didalamnya. Ada pun warna yang dihasilkan dari uji tersebut ialah
  • Hijau: Merupakan warna dari pigmen empedu
  • Coklat/keunguan: asam sulfat + empedu
  • Kuning: Asam sulfat
  • Bening: Sukrosa
Larutan sukrosa dengan H2SO4 akan membentuk gula heksosa yang kemudian membentuk hidroksimetilfurfural yang ditandai dengan adanya cincin ungu.

Kesimpulan
  1. Uji musin dilakukan untuk melihat adanya senyawa organik dalam empedu. Hal ini ditandai dengan adanya endapan musin.
  2. Uji gmelin adalah uji warna. Hijau merupakan warna pigmen empedu, kuning merupakan reaksi bilirubin dengan HNO3, ungu yaitu mesobilisianin (hasil oksidasi empedu oleh HNO3).
  3. Uji pettenkofer bertujuan membuktikan adanya garam dan asam empedu. Hijau adalah asam empedu, kuning: asam sulfat, ungu/coklat: asam sulfat + empedu, putih yaitu sukrosa.

Sumber
Akira,Nathania. 2015. "Laporan biokimia enzim, saliva, empedu". 18 November 2015 ( biokimiabaper4.blogspot.co.id/2015/11/laporan-biokimia-enzim-saliva-empedu.html?m=1 diakses 6 April 2018)
Chemistry. 2012."Empedu (laporan)". 18 Mei 2012 ( googleweblight.com/i?u=http://themaczmanchemistry.blogspot.com/2012/05/empedu-laporan.html?m%3D1&hl=id-ID diakses 6 April 2018 )

Terimakasih^_^
     

Fisiologi Respirasi, Pulsus, dan Temperatur Rektal Pada Sapi Bali


Agustina L Nazara

Laporan Praktikum Fisiologi Veteriner II
“Frekuensi Nafas, Pulsus, dan Suhu Tubuh Sapi”


oleh:
1. Agustina Lesmauli Nazara 1709511007
2. Jeremy Christian Luwis 1709511008
3. Salsabila Qutrotu’ain 1709511009
4. I Gst. Ayu Puji Mahasanti 1709511010
5. Ni Komang Ade Juliantari 1709511011






FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018











I. PENDAHULUAN 

      Status faali meliputi respirasi, pulsus, dan temperatur rektal merupakan suatu parameter yang digunakan untuk mengetahui kondisi atau keadaan kesehatan suatu ternak yang dapat dilakukan dengan percobaan langsung. Kondisi status faali ternak merupakan indikasi dari kesehatan dan adaptasi ternak terhadap lingkungannya. Ternak akan selalu beradaptasi dengan lingkungan tempat hidupnya, apabila lingkungan dengan suhu dan kelembapan yang tinggi dapat menyebabkan stress (cekaman) karena sistem pengaturan panas tubuh dengan lingkungannya menjadi tidak seimbang. 

1.1 Frekuensi Nafas
 
      Respirasi adalah semua proses kimia maupun fisika dimana organisme melakukan pertukaran udara dengan lingkungannya. Respirasi berfungsi sebagai parameter yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengetahui fungsi organ sampai organ tubuh bekerja secara normal. Fungsi utama pada respirasi yaitu menyediakan oksigen bagi darah dan mengambil karbondioksida dari darah. Pengukuran terhadap parameter fisiologis bisa dilakukan dengan pengukuran respirasi, detak jantung dan temperatur tubuh. Hewan memerlukan suplai O2 secara terus menerus untuk respirasi selular sehingga dapat mengubah molekul bahan bakar yang diperoleh dari makanan. Hewan juga harus membuang CO2 yang merupakan produk buangan respirasi. Untuk memungkinkan terjadinya difusi gas-gas respirasi, diperlukan permukaan respirasi yang luas dan lembab.
 
1.2 Pulsus

      Pulsus dapat disebut juga denyut nadi. Frekuensi pulsus atau denyut jantung dikendalikan oleh sistem organ jantung yang dipengaruhi oleh sistem saraf. Jantung merupakan dua pompa yang menerima darah dalam arteri dan memompakan darah dari ventrikel menuju jaringan kemudian kembali lagi. Pada sapi, pengukuran pulsus dilakukan dengan meraba bagian pangkal ekornya sehingga terasa denyut arteri caudalisnya. kecepatan denyut jantung dapat dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, aktivitas tubuh, suhu tubuh, latak geografis, penyakit dan stress. 

1.3 Suhu Tubuh 

      Temperatur tubuh merupakan hasil keseimbangan antara produksi panas dan pelepas panas tubuh. Indeks temperatur dalam tubuh hewan dapat dilakukan dengan memasukkan termometer rektal ke dalam rektum. Faktor-faktor yang mempengaruhi temperatur tubuh antara lain bangsa ternak, aktivitas ternak, kondisi kesehatan ternak, dan kondisi lingkungan ternak. Perbedaan temperatur tubuh disebabkan oleh kondisi eksternal dan aktivitas.



II. MATERI DAN METODE 

Materi
Sapi Bali (minimal 3)
Termometer Digital 
Stopwatch 
Stetoskop
 
Metode 
Metode yang digunakan yaitu metode langsung pada lapangan yaitu pada sapi disiang hari dan secara tidak langsung yaitu mengukur suhu dengan perhitungan waktu.



III. HASIL PRAKTKUM

Data mengenai hasil praktikum kami sebagai berikut.
No Jenis Sex     Umur Nafas* Pulsus** Temperatur  
1. Sapi Bali   Betina 3th 35     64  37°C
2. Sapi Bali   Betina 3th 37,4    66 37,6°C
3. Sapi Bali   Jantan 4th 38,2   80 38°C
       Rata-rata 3,3 36,9    70.     37,5°C

*Nafas (Kali/menit)  
**Pulpus (Denyut/menit) 





IV. PEMBAHASAN

      Praktikum ini memberikan gambaran bagaimana sapi beradaptasi dengan lingkungannya. Berdasarkan praktikum yang dilakukan didapatkan hasil frekuensi nafas, denyut nadi (Pulsus), dan temperatur rektal. Hasil yang diperoleh dapat menunjukkan apakah sapi tersebut dalam keadaan normal atau sehat.
Gambar dibawah merupakan anggota-anggota yang bekerja sama dalam melakukan penelitian denyut nadi, frekuensi napas dan temperatur. Praktikum kali ini bertempat di kebun jl. Renon dimana sapi-sapi tersebut dimiliki oleh Bapak Wayan.
Gambar 1. Pengenalan Kelompok

Berdasarkan data yang diperoleh, frekuensi nafas ketiga sapi bali yakni 35, 37,4 dan 38,2. Dan dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa frekuensi nafas dari ketiga sapi tersebut adalah normal. Dimana menurut Duke's (1995) frekuensi nafas yang normal pada sapi yaitu 24-42. Frekuensi nafas yang bervariasi tergantung pada kondisi fisik, aktivitas, suhu lingkungan, dan ukuran tubuh sapi. Ukuran tubuh yang besar memerlukan oksigen dalam jumlah yang besar juga. Frekuensi  nafas ketiga sapi tersebut termasuk tinggi karana pengukurannya yang dilakukan pada siang hari yang menyebabkan frekuensi nafas semakin tinggi.


      Pulsus sapi bervariasi tergantung pada ukuran tubuh, umur, kondisi fisik, pemasukan makanan, suhu lingkungan, dan ruminasi. Menurut Duke's (1995)  keadaan normal denyut jantung sapi adalah 60-70. Berdasarkan praktikum yang dilakukan, kedua sapi betina memiliki pulsus yang normal yakni 64 dan 66. Sedangkan pada sapi jantan melampaui batas normal. Hal ini bisa disebabkan oleh jenis kelamin yang berbeda serta aktivitas yang dilakukan. Sapi yang sakit atau stres, denyut jantungnya akan meningkat untuk waktu tertentu. Semakin banyak aktivitas yang dilakukan sapi, semakin cepat pula denyut jantung. Sapi dengan ukuran tubuh lebih kecil memiliki denyut nadi yang lebih besar dibandingkan sapi yang lebih besar.
Gambar 2. Pemeriksaan Pulsus Sapi



      Pengukuran suhu tubuh dilakukan dengan memasukkan termometer kedalam rektal kira-kira setengah bagiannya. Menurut Duke’s (1995), temperatur rektal normal sapi adalah 37°C-39°C. Berdasarkan data yang diperoleh dari ketiga sapi yakni 37°C, 37,6°C dan 38°C dapat disimpulkan bahwa temperatur rektal maupun suhu tubuh sapi dalam keadaan normal atau sehat. Temperatur rektal pada ternak dipengaruhi beberapa faktor yaitu temperatur lingkungan, aktifitas, pakan, minuman, dan pencernaan produksi panas oleh tubuh secara tidak langsung tergantung pada makanan yang diperolehnya dan banyaknya persediaan makanan dalam saluran pencernaan.

Gambar 3. Pengukuran Suhu Sapi.




V. SIMPULAN

      Berdasarkan praktikum lapangan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa setiap sapi yang telah di uji memiliki rata-rata nafas 36,9 kali/menit, pulsus 70 kali/menit, dan temperature rektil 37,5˚C. Data tersebut menunjukkan bahwa sapi yang diperiksa secara fisiologis dalam keadaan sehat. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain keadaan temperature lingkungan, kelembaban, ketinggian daerah, stress, dan penyakit. 



DAFTAR PUSTAKA 

1. Anggoro, Lintang. 2015.”FISIOLOGI TERNAK ACARA STATUS FAALI”. 11   Januari 2015 
lintangaen.blogspot.co.id/2015/01/laporan-praktikum-fisiologi-ternak.html?m=1 diakses 07 April 2018
2. Aminullah. 2015. “Laporan Praktikum Fisiologi Ternak (acara 1). 02 Maret 2015
https://aminnoah.blogspot.co.id/2015/03/laporan-praktikum-fisiologi-ternak.html?m=1 diakses 07 April 2018


Terimakasih ^_^


















Kamis, 05 April 2018

Uji Saliva Praktikum Biokimia 2

Agustina Nazara
Kamis, 5 April 2018

UJI SALIVA
   
      Saliva memiliki peranan penting dalam sistem pencernaan. Saliva membantu mempermudah menelan makanan dan tetap menjaga kelembaban rongga mulut. Saliva terdiri atas 99,5% air dan sisanya benda padat 0,3% zat organik (Musin, protein, ptialin / amilum)  dan 0,2% zat anorganik (Cl, S, dll). Musin berfungsi sebagai pelumas pada waktu mengunyah dan menelan makanan.
Uji saliva yang dilakukan pada praktikum ini uji musin dan uji biuret.

Alat dan bahan:

  1. Saliva 2-3 cc
  2. Asam asetat encer (5%) 
  3. Asam asetat pekat (25%) 
  4. Biuret (NaOH 1 cc dan CuSO4 1 cc) 
  5. Tabung reaksi
  6. Rak tabung reaksi 
  7. Pipet tetes 

Tata kerja:
  1. Masukkan saliva masing-masing kedalam tiga tabung reaksi, amati bentuk fisik awal
  2. Uji musin: 
  • Tabung I: Saliva + asam asetat encer (5%) 
  • Tabung II: Saliva + asam asetat pekat (25%) 
 3. Uji biuret:
      Saliva + NaOH 1 cc + CuSO4 1 cc

Hasil Percobaan
  1. Tabung I: Saliva + asam asetat encer (5%) 
      Bentuk fisik saliva awal yaitu larutan cair dan keruh. Bentuk akhir setelah ditambah larutan asam asetat yaitu terdapat gumpalan putih dan larutan keruh. 

 2. Tabung II: saliva + asam asetat pekat (25%) 
     Bentuk fisik akhir larutan lebih encer, warna lebih bening dan gumpalan menghilang.

 3. Tabung III (uji biuret) : saliva + NaOH 1 cc + CuSO4 1 cc 
     Bentuk fisik akhir yaitu gumpalan berwarna biru hingga ungu yang menyebar

Pembahasan 

1. Uji Asam asetat encer dan pekat

    Asam asetat berfungsi mengendapkan musim yang terdapat dalam saliva dan mengubah struktur dari protein pada saliva, sehingga terjadi denaturasi yang menyebabkan penggumpalan protein. 
  • Saliva + asam asetat encer (5%)  
     Uji ini menghasilkan larutan seperti gel/gumpalan atau yang dikenal dengan musin. Hal ini terjadi karena adanya koagulasi dari molekul-molekul yang berupa protein (misalnya enzim amilase) yang terkandung dalam saliva (Simanjuntak, 2003).  Adanya gumpalan putih menunjukkan hasil positif yang artinya saliva tersebut mengandung protein. Hal ini karena saliva mengandung enzim amilase yang merupakan protein dan musin yang merupakan suatu glikoprotein.

  • Saliva + Asam asetat pekat (25%) 
      Dari percobaan yang dilakukan, didapatkan hasil yang negatif, hal ini karena saliva yang digunakan saat pengeksresian saliva dibantu dengan asam cuka encer makan, dan saliva pun tidak mengandung musin lagi. 

2. Uji Biuret
      Saliva + NaOH 1 cc + CUSO4 1 cc

      Uji biuret dilakukan untuk mengetahui keberadaan gugus amida pada larutan yang diuji (saliva). Dalam suasana basa (penambahan NaOH) Cu2+ akan bereaksi dengan gugus -CO dan -NH2 pada asam amino dalam protein sehingga membentuk suatu kompleks berwarna. Pada uji biuret ini, reagen yang digunakan yaitu NaOH dan CuSO4. CuSO4 berfungsi sebagai penyedia ion Cu2+ yang akan membentuk kompleks protein, sedangkan NaOH berfungsi untuk menyediakan basa. Suasana basa membantu membentuk Cu(OH)2 yang akan menjadi Cu2+ dan 2OH-. Dari uji yang dilakukan, didapatkan hasil yang positif ditunjukkan dengan adanya endapan biru tua-keunguan yang berarti dalam saliva ada protein. 

Kesimpulan:

  1. Pada uji saliva menggunakan asam asetat encer didapatkan hasil positif dengan adanya gumpalan putih yang menunjukkan bahwa saliva mengandung protein. 
  2. Pada uji saliva menggunakan asam asetat pekat didapatkan hasil negatif karena saliva dibantu dengan asam cuka encer makan sehingga musin tidak ada lagi. 
  3. Pada uji biuret didapatkan hasil positif yang menunjukkan adanya gugus amida ditandai dengan adanya endapan bewarna biru tua yang berarti ion Cu2+ membentuk suatu kompleks berwarna.  



Daftar Pustaka 

Samosir, Hartina. 2015."Praktikum Biokimia 2 'Sifat Biokimia Saliva". 7 Maret 2015 ( hartinasamo.blogspot.co.id/2015/03/praktikum-biokimia-2-sifat-biokimia.html?m=1 diakses 5 April 2018). 


Simanjuntak, MT dan J. silalahi. 2003. "Praktikum Biokimia". ( http:/library.usu.ac.id/download/fmipa/farmasi-mtsim2.pdf).

Denpasar,  Bali. 
Thank you☺